Monday, 4 February 2008

"Barhentilah, Da. Ada Tempat Bagus..."

Malam belumlah begitu larut, ketika saya dan seorang rekan mencoba menelusuri Pantai Padang, Malam Minggu 2 Februari kemarin. Meski diteror oleh sedikit hujan dan badai pada siang hari, saat matahari mulai terkurung, cuaca tiba-tiba cerah dihiasi bintang. Mengitari pantai, ternyata sudah seperti layaknya pasar pada siang dan pagi hari. Ratusan pedagang kaki lima (PKL) sudah rapi menggelar dagangannya. Berniat melihat langsung melihat "kursi maksiat" sepeda motor dihentikan pada lokasi pedagang yang memiliki belasan kursi, beberapa motor juga sudah diparkir.



Sebelum menghentikan laju kendaraan, beberapa wanita muda sudah "merayu" seraya menunjuk kursi yang disediakan di belakang gerobak bersama tempat pembakaran yang terus berasap. Mereka berjejer rapi. "Barantilah da, ado tampak rancak. Bisa makan jaguang baka jo pisang baka," kata orang-orang yang khusus berdiri di tepi jalan. Karena niat hati untuk melihat bagaimana dan apa di balik kursi-kursi itu, dipilihlah tempat yang paling besar dan ramai.

"Kasiko da, siko diparkirkan," kata seorang pemuda yang langsung mengambil alih sepeda motor untuk diparkirkan. Karena kondisi pantai yang tidak rata, keahlian pemuda itu memarkirkan memang bermanfaat. "Duduak lah dulu, piliah se kursi-kursi itu," katanya amat ramah seraya beralih ke pelanggan lain yang juga akan memarkir kendaraan.

Melihat kursi-kursi yang di jejer sengaja tidak rapi itu, ternyata membuat jantung berdegup kencang. Mulailah kursi dengan sandaran paling rendah ditempati dan si pemuda yang tadi memarkir kembali datang. "Apo pasan da? Ado jaguang baka, pisang baka. Minumnyo juo banyak, teh botol atau miuman lainnya," tanyanya dan kami memesan dua jagung bakar dan dua teh botol.

Teh botol sudah datang dengan sangat cepat, namun jagungnya belum. Beberapa pasangan lainnya berdatangan dan memilih tempat-tempat yang rasanya tidak terlalu kentara oleh orang di belakan dan sampingnya. Tidak begitu lama dan hari baru Pukul 20.00 WIB, 15 kursi yang dihitung itu tinggal beberapa saja.

Tidak ada yang merasa saling kenal diantara belasan pasangan yang datang secara berangsur itu. Celingak-celinguk, saya malah mulai ragu untuk berlama-lama, karena suasana yang tidak begitu nyaman. Setelah memperhatikan, di kanan kiri dan melihat kepala yang terus beradu di kursi paling depan, ragu itu mulai mencair.

Kembali pada niat, ternyata apa yang dikira banyak orang yang terus berlalu-lalang di jalan raya ketika melihat kursi-kursi itu tidak salah. Dengan sandaran kursi yang sebagiannya hampir menyamai atau melebihi kepala, apa saja bisa dilakukan. Apalagi, tidak ada yang saling pandang, kecuali memandangi pasangannya masing-masing.

Serong ke kanan dari kursi saya persis ketika jagung bakar terhidang, sepasang kekasih sudah merasa di balik awan. Pasangan itu amat bebas. Apalagi didukung oleh terpal yang difungsikan sebagai atap sangat dekat kepada kepala mereka. Jadilah, mereka mendapat tempat amat strategis -- seperti dalam sebuah kotak.

Menghabiskan dengan cepat jagung yang telah dipesan, ternyata ada pemandangan lain di bagian kiri. Seorang gadis berjilbab tanpa malu bergandengan tangan dan memilih tempat duduk yang hanya tinggal satu. Mereka duduk dan kami langsung cabut. "Menghadap" ke kasir dan membayar.
"Kok sabanta se da," tanya seorang perempuah setengah baya yang menyapa dengan hangat. Sedangkan pemuda yang sepantasnya menjadi anaknya, langsung menuju ke sepeda motor. Motor dikeluarkan dari parkiran -- tidak ada uang parkir yang dipungut. Sementara dinginnya malam makin mengusik di benak.(***)

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.