Thursday 24 April 2008

Miskin : Serahkan Sawah Bangun Jalan


LELAKI tua itu terbatuk bersandar di gubuk reotnya. Keringat masih belum mengering dari keringnya tubuh renta yang hanya dibalut singlet lusuh yang tidak lagi putih. Siang itu, matahari memang tidaklah terik, namun sudah cukup untuk merenggut segala kekuatan manusia 71 tahun, hanya dengan ayunan cangkulnya di lahan milik orang. Saharuddin menuntaskan pekerjaan seharinya hanya sampai 11.30 WIB.


Bekerja sebagai seorang buruh tani telah dilakoni warga Batu Kasek Parak Pegambiran Lubuak Bagaluang sepasang suami istri, Sharuddin dan Minan (62) sejak tahun 60-an silam. Apa yang mereka cari, hanyalah untuk bertahan hidup dan membesarkan 7 orang anak-anak mereka. Sampai sekarang, mereka masih seperti itu.

Ada rasa haru yang berbeda, ketika terus menelisik lebih dalam ke kediaman pasangan ini. Gubuk super sederhana dengan atap daun rumbio, dinding kayu usang dan bambu serta lantai rumah panggung yang sudah kian bergoyang di hembusan waktu. Dua lampu teplok (lampu minyak tanah), masih menyisakan hitam hangusnya di dinding kayu rumah yang tidak berkamar. Di 'lantai' 1 rumah yang berlokasi 1 KM dari Jalan By Pass Taluak Bayua itu, juga berdiam 3 ekor kambing.

"Kami hanyo barampek tingga di rumah ko nak," katanya ketika pembicaraan muai pada masalah yang lebih pribadi. Masih terengah, Saharuddin mengurai satu demi satu kelumit hidupnya. Selain tinggal dengan Minan, bapak yang sekarang sudah sakit-sakitan itu juga ditemani 2 anak bujangnya, Syaf (35) dan Wemdri (20).

5 anaknya yang lain, kata Sahar, sudah lepas atau sudah berumah tangga dan meninggalkan mereka. 3 orang putrinya sudah bersuami dan meninggalkan mereka, sedang 2 orang anak lelakinya sudah pula pergi dari kota ini untuk mencari hidup yang lebih. Amat jarang, mereka pulang ke rumah yang lebih senang dikatakannya pondok itu. Seorang anak perempuannya, kadang masih sering berkunjung, dan menitipkan 3 ekor kambingnya.

Sebagai orang tua dengan umurnya yang kian renta, memang tidak ada yang dapat mereka perbuat lagi dengan baik, tapi keterpaksaan tidak bisa dielakkan. Mengelola pertigaan sawah orang lain, harus dilakoninya dengan tenaga seadanya. Meski mengaku pribumi, Sahar dan Minan harus mengelola sawah orang.

Apakah tidak ada sawah? Ternyata pada awalnya, keluarga Sahar memiliki 1 hektar lahan untuk persawahan. Namun, kecintaan untuk membangun kampung lebih tinggi, dia menyerahkan lebih separoh lahan itu untuk membuka jalan, tanpa ganti rugi, apalagi ganti untung. Bahkan gubuk reot itu juga sudah 3 kali berpindah, seiring terus diperlebarnya jalan ke kawasan tersebut.

"Kaba-kabanyo, jalan ko juo ka di aspal mah," kata Sahar yang setiap minggu harus berobat ke Mantari Kesehatan setempat, untuk mengatasi penyakit paru-parunya. Tidak kurang Rp 20 ribu dia keluarkan sekali datang ke mantari yang uangnya berasal dari keringat sendiri dan dari 2 anak laki-lakinya yang bekerja di kafe.

Penyakit itu memang kian menyesakkan Sahar yang berimbas kepada menu makanan mereka sehari-hari. Di rumah tanpa aliran listrik itu jangan harap akan bertemu dengan makanan enak. Yang ada hanya 'samba aldo' dan nasi putih. "Kalau bareh kami kadang dapek dari kelurahan (raskin). Kalau musim panen tibo, paling untuka makan sabulan sajo," tambah Minan yang setia mendampingi suaminya.

Pasangan suami istri ini memang masih memendam harap, rumah mereka yang juga disisipi kandang ayam itu akan diperbaiki. Kalau tanah, mereka masih memliki lahan untuk dibangun rumah. "Kami kalau ditanyo, memang sangaik ingin kalau rumah iko di bangun baru, tapi jo apo? Untuak barubek apak sajo dak cukuik-cukuik," harap Minan di rumah yang persis terletak di kaki bukit itu.(***)

Your cOmment"s Here! Hover Your cUrsOr to leave a cOmment.