Dia menepi, dan aku tidak tahu lagi mau kemana. Sebuah sepeda tua yang dia kendarai itu seakan telah bercerita bahwa dia tidak lagi memiliki apa-apa. "Hanya sepeda ini," kira-kira katanya padaku yang tentunya nyaris tidak memiliki apa-apa untuk saat ini. Aku memanggilnya Inyiak, karena orang-orang yang lebih dahulu dilahirkan daripada aku, memanggilnya seperti itu. Aku tidak tahu pasti kenapa dia dipanggl seperti itu. Kata sebagian orang, dia dipanggil begitu (inyiak) karena telah berhasil menyelesaikan perguruan silatnya di Sasaran Mak Gemuk.
Masih kata orang, Inyiak telah menyelesaikan seluruh pelajaran silatnya dan sebagai ujian terakhir dia harus bertarung dengan harimau. Hariamau di kampung kami sering juga dipanggil dengan Inyiak. Namun, tidak usah pula aku ceritakan kenapa ada panggilan Inyiak untuk si harimau. Karena tentunya banyak yang tahu, kalau Inyiak adalah sebutan untuk sesuatu atau seseorang yang ditinggikan salantiang dan didahulukan selangkah -- maksudnya disegani dan dituakan.
Selanjutnya untuk konon, dalam pertarungan Inyiak dengan Inyiak Balang (harimau) ini, tahulah orang sekampung (kalau tidak salah belum ada orang yang menghitung jumlah penduduk kampung kami pada waktu itu). Pergumulan demi "mamutuih" silat itu, tak ubahnya seperti sang matador dengan banteng liar di Spanyol sana. Kata orang, tidak ada kengerian waktu itu. Hampir semua orang tahu, kalau itu hanya galuik antara harimau dengan Inyiak. Setiap orang tahu, Inyiak tiap hari selalu bersama harimau. Bahkan katanya, inyiak hanya diajari Mak Gemuk sekitar satu tahun saja. Selebihnya dia belajar langsung dengan harimau. Kalau untuk teori dan praktek Taralak (jenis silat), inyiak sekedar basa-basi dengan Mak Gemuk sang guru.
"Kalau diadu, mungkin kalah telak gurunya," ungkap segelintir orang saat menyaksikan, Inyiak menyembah gurunya sebelum bertarung dengan harimau belang itu. Naas memang nasib si harimau belang, sebuah belati inyiak bersarang tepat di dadanya, konon harimau itu sempat meraung, dan air mata Inyiak menyatu dengan tumbalnya. Semua orang terharu dengan pengorbanan teman sepermainan Inyiak.
Julukan Inyiak Balang terus melekat di dada Inyiak. Tidak ada orang yang tidak tahu, karena dia, dia yang telah mengalahkan harimau, dia yang telah melumpuhkan sebegitu garangnya garong di Bukit Tambun Tulang. Bukit, yang katanya, sebagian tulang-tulangnya adalah korban-korban Inyiak. Tentunya Inyiak hanya membunuh para rampok, sedang tulang para bangsawan dan anak dagang lainnya, tewas oleh para garong. Meskipun ada yang menuding, kalau lebih banyak tulang itu akibat saling 'makan' antara sesama para saudagar.
Apa daya Inyiak, ilmu silat tidak dapat dibanggakan selamanya. Dia hanya mampu bertahan sekian puluh tahun. Tulang tua itu mulai minta jatah di pembaringan. Namun, Inyiak yang gagah perkasa itu lupa, seseorang harus berkeluarga, seseorang harus punya keturunan. Alfa dan khilaf yang mendera Inyiak itu, ternyata menyengsarakannya juga. Akhirnya, dia menjadi sebatang kara. Walinagari yang kebetulan ayahku, pernah memberinya sebuah sepeda, bagi inyiak yang mulai tua itu. Dia terus saja mendayungnya kian kemari, tentu saja kalau dia sudah makan dan punya tenaga. Tapi seberapa lama lagi? Hanya tuhan yang tahu.
Hari itu saat inyiak menepi, aku tahu kalau dia belum makan. Mata tuanya telah memperlihatkan kalau dia tidak lagi punya daya untuk mengayuh sepedanya. Aku meminggirkan motorku, motor yang baru saja ku kredit dengan kumpulan gajiku. Aku menyapanya dengan mencoba ramah. "Inyiak," cobaku sapa dia ramah.
"Ado apo lai Anak Induak Samang?" kata Inyiak menatapku dengan penuh nanar mata yang tergurat menua. Dia tidak banyak bicara. Aku tahu, apa yang kurang dari seorang lelaki tanpa keluarga dan hanya memiliki sebuah sepeda butut. Induak samang, sama juga dengan juragan atau tuan. Itulah kata-kata Inyiak selalu kepada ayahku, Seorang Walinagari di Nagari Gasang, Kabupaten Agam. Itu dulu, sekarang, kami telah menyatu dalam sebuah Kenagarian Maninjau.
Tanpa menunggu lama, aku mencoba meraih tangannya. Selembar uang yang bisa ditukarkannya dengan nasi kuberikan. Dia tidak berkata banyak, hanya saja mengundang senyum yang tulus dari hati kecilnya. Aku tahu, itulah senyum paling tulus untukku selama beberapa hari terakhir. Istriku yang kandungannya menua, selalu marah-marah, karena dia tidak suka lagi tinggal di rumah kami. Rumah yang ditinggalkan ibu istriku atau mertuaku. Rumah kaum yang mulai dirusak keangkuhan zaman. Rumah yang mulai keropos dan tidak tahu lagi, akan jadi apa tahun-tahun depan. Apalagi, jika gempa mulai menggoyang.
Tidak lama, Inyiak telah meninggalkan aku. Banyak kata sebenarnya yang dia akan ucapkan padaku. Tapi, perutnya sudah tidak dapat mengucap salam yang indah. Terbayang bagiku, dia ingin ke Lapau Uwo di simpang tiga dekat Surau yang dulu pernah aku singgahi setiap malamnya. Tempat aku mencoba beralih pandang terhadap dunia luar. Mencoba merangkai dunia dengan teknik silat dan segalanya. Aku tahu, aku tidak akan sampai bertemu dengan Inyiak yang harimau. Karena aku, lebih memilih bergiat menjadi seorang pedagang, dan berencana untuk menjadi saudagar. Tapi, itu dulu.
Sementara bayanganku terus memudar di benak Inyiak, sementara aku sangat tahu, kalau dia telah menukar lembaran dengan sebungkus nasi. Pasti inyiak sedang tersedak, dengan goreng bada, bikinan juragan Lapau Uwo. Biarlah, dia makan dan menerima hari-harinya.
Sepeda bututnya memang telah didayung kembali je jalan yang pernah jadi sengketa antar kaum. Jalan yang dimintakan pemerintah untuk menjadi jalur keluar masuk kampung ini. Sayang, caranya tidak baik. Tidak ada niat untuk mengganti jalan itu dengan harga yang sepantasnya. Dua suku dimanfaatkan, untuk saling cakar. Memperjuangkan hak masing-masing. Akhirnya, jalan itu memang cukup meminta korban -- darah dari dua suku yang bertikai. Beberapa mesin telah meratakan tanah pusako dan menimbunnya bersama aspal.
Akhirnya aku sadar, kalau lembaran yang kuberikan itu adalah lembaran satu-satunya yang ada padaku. Motorku juga tidak lagi dapat meraung lebih jauh. Batas minimal bahan bakarnya telah jauh melampaui garis Merah. Ah sudahlah, seorang mantan pendekar juga butuh makan. Setidaknya, aku telah memberikan pencerahan kepada cacig-cacing di perutku tadi pagi. Semangkuk bubur putih, telah kami nikmati bersama istriku yang hamil agak tua.
Tiba-tiba, sebuah kebuncahan terjadi di kampung kami yang sebelumnya selalu sunyi tenang. Orang-orang berteriak histeris, dan aku tidak lagi berfikir untuk pulang. Simpang Tiga persisnya di Lapau Uwo menjadi keramaian seperti pasar dadakan. Ada darah yang bercucuran dan ketakutan yang mencekam. Seseorang mengatakan padaku. Inyiak telah tewas dengan sebuah cakaran besar di dadanya yang ringkik.
Perlahan, sepeda tua itu disingkirkan dari tubuh Inyiak. Darah segar yang mengalir itu, dirasakan orang sebagai sebuah pertanda, kalau Inyiak telah kembali. "Dia telah menyatu kembali dengan tumbalnya," kata seseorang yang bisa melihat, kalau sebuah bayangan kematian berwujud harimau tengah menjilati tubuh Inyiak. Ilmu itu telah padam, bersamaan dengan menyatunya Inyiak yang manusia dengan Inyiak yang harimau. Auman tiba-tiba datang beriring bersama hujan yang rintik. Akan ada pemakaman Inyiak yang tidak begitu tenang sepertinya.
Aku pulang. Di rumah, istriku tiba-tiba telah melahirkan dengan tubuh bayi yang belang seperti harimau. Dia tidak menangis, tapi mencoba mengaum sejadinya. Untunglah, belang itu hilang bersamaan dengan hilangnya nyawa bayi yang masih 7 bulan dalam kandungan itu. Istriku bertanya-tanya, gerangan apa ini? Aku terdiam, karena tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.(Nurani Sendiri, 2007 - 1 Maret 2008)